Selasa, 19 Mei 2015

pengembangan profesi penjas



LAPORAN TUGAS
MATAKULIAH AZAS FILSAFAT
PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA

PENGEMBANGAN PROFESI
PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA

OLEH

HERAWANTO DIKROMO
8615111010
DIK A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah azas filsafat pendidikan jasamani dan olaharaga dari dosen pengampu dr.Imran Ahmad,M.Pd

Tujuan penulisan tugas ini untuk memenuhi laporan tugas mata kuliah dan selain itu agar dapat mengetahui perkembangan profesi guru dan pelatih dikalang pendidikan jasmani dan olahrga, serta mengetahui perbedaan profesi dan profesionalisme dalam ruang lingkup olahraga.

kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

       Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


Medan,   Mei  2015


Penyusun




PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Olahraga di Indonesia semaikin hari semakin menarik untuk diamati.Pada tataran dimensi prestasi, olahraga di Indonesia sekarang ini sedang mengalami masa penuh keprihatinan.Merosotnya prestasi atlet-atlet dalam setiap kancah pertandingan Internasional menunjukan semakin buruknya sistem pembinaan olahraga. Dalam tataran dimensi yang lain sangat berbeda, terutama pada antusiasme dunia usaha dalam menkomersial produknya melalui event olahraga disamping itu terjadi pergeseran semangat juang atlet dari nilai amatirisme menuju profesionalisme yang pada akhirnya terjadi inkosistensi pembinaan baik dari para pelaku olahraga maupun pejabat pemerintahan beserta kebijakannya dalam menerjemahkan nilai-nilai keolahragaan. 

Profesional yang cerdas bukan sekadar memiliki visi dan membaca peluang saja, melainkan bagaimana menjalankan visi sehingga peluangnya dapat mendulang sukses ke depan. Hal yang sama juga berlaku kepada setiap insan yang terlibat di olahraga. Profesional tidak sekadar wacana, tetapi harus jelas konkretnya, termasuk sikap mental untuk menjadi bagian dari industri itu.Sejujurnya olahraga kita tanpa visi dan tidak pernah sadar dengan nilai. 

Profesionalisme masih sebatas wacana.Olahraga kita ragu dengan kemampuannya sendiri.Pasar yang begitu besar tak pernah digarap dengan serius.Siapkah olahraga menjadi industri terbesar selanjutnya di Indonesia?Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, nomor empat di dunia.Memiliki jumlah tenaga kerja hampir 45 persen.Kategori orang makmur alias tidak kaya sekali tetapi juga tidak miskin, hampir 18 persen.Ada kelompok paling royal dan mayoritas penggemar olahraga, yaitu kawula muda sebesar 30 persen dari jumlah penduduk.Indonesia adalah pasar yang sangat potensial, termasuk pasar olahraganya. Namun, dengan catatan, tinggalkan cara instan dan berani berubah dari paradigma lama.

 A. Perubahan dan peluang 

Apa yang mustahil pada masa lalu, kini menjadi tidak mustahil. Johnny Harnes dari klub Fulham menjadi pemain nomor satu di Inggris tahun 1961. Seandainya Harnes masih hidup, dia pasti menyesal karena pada masa itu ia hanya mendapat gaji 100 pound seminggu (tertinggi pada tahun itu). Bandingkan dengan sekarang, kontrak Thierry Henry, Cristiano Ronaldo, atau Ronadhinho, rata-rata 100.000 pound seminggu. Seusai Perang Dunia II, bisbol menjadi pilihan favorit masyarakat Jepang, bukan sepak bola. Seandainya Jepang tidak melihat visi ke depan, akibat tayangan sepak bola Eropa mewabah ke Asia pada tahun 1990-an, mungkin tim nasional sepak bola Jepang tidak akan pernah menjadi tim elite di Asia, sebab J League tidak lahir dan tidak digarap dengan baik. Lain lagi dengan India.Negeri berpenduduk satu miliar ini, sampai sekarang tidak memilih sepak bola sebagai industri olahraganya.Pertandingan kriket adalah pilihan favorit. Industri olahraga kriket sendiri meraih hampir 70 persen dari total pengeluaran sponsor untuk sport di India, yaitu 30 juta dollar AS. Contoh di Jepang atau di India patut kita telaah secara mendalam. Pertanyaannya, bagaimana, dari mana dan jenis olahraga apa yang mau kita pilih sebagai "motor" penggerak industri olahraga? Secara kasat mata ada empat cabang olahraga berpotensi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yaitu sepak bola, bulu tangkis, bola voli, dan bola basket.Sepak bola adalah olahraga paling favorit, tetapi minus prestasi dan tidak nyaman ditonton di lapangan karena sering terjadi keributan.Kedua adalah bulu tangkis.Walau kalah favorit dibandingkan sepak bola, tetapi memiliki prestasi dunia.Ketiga bola voli.Jenis olahraga ini tidak memiliki prestasi dunia, tetapi nomor satu di Asia Tenggara.Penggemar voli besar dan hanya kalah dibandingkan sepak bola.Terakhir adalah basket.Secara prestasi, baru nomor dua di Asia Tenggara.

Dari sisi massa, basket tidak sebesar sepak bola, voli, dan bulu tangkis. Namun, menurut salah satu riset, penggemar basket yang rata-rata tumbuh di beberapa kota besar di Indonesia memiliki daya beli yang besar dibandingkan dari tiga cabang olahraga di atas. Secara pasar, Indonesia adalah besar. Tapi secara mental dan sikap, kita belum siap menjadi bagian dari entrepreneurs olahraga. Bangsa kita terkenal ramah dan bersahabat, tetapi giliran menjadi pelaku entrepreneurs menjadi kikuk. Sepertinya bangsa kita, termasuk pelaku olahraga, belum siap menjadi bagian dari bisnis jasa.Perlu kita contoh negara tetangga Singapura yang terkenal cuek, menjadi sangat ramah apabila sedang menjadi pekerja.

 B. Komersialisasi Olahraga 

Saat ini olahraga komersial telah menjadi global dikarenakan oleh, pertama, mereka yang mengontrol, mensponsori, dan mengembangkan olahraga melihat cara baru untuk mendapatkan lebih banyak uang. Kedua, kalangan bisnis dapat menggunakan olahraga sebagai wahana untuk mengenalkan produk dan jasa mereka di seluruh dunia Lebih lanjut, olahraga komersial telah mengambil bentuk karakter global ini, akan melanjutkan perluasan secara global melintasi batas-batas nasional dan-salah satu akibatnya-masyarakat akan mengembangkan pandangan yang non nasionalistik ke arah olahraga . Sebagaimana kita mengerti bahwa olahraga merupakan suatu ruang sosial di mana berbagai kepentingan saling berebut.

Dalam hal ini kepentingan komersial akan bertarung dalam rangka mengupayakan olahraga sebagai barang komoditi. Olahraga harus mampu dikomodifikasikan untuk mernelihara eksistensi kehidupan komersial yang menjadi ruh dari ekonomi kapitalisme dan olahraga itu sendiri pada titik ini seolah telah bergeser menuju suatu wilayah economicus dimana dapat ditambang uang seoptimai mungkin di sana. Industrialisasi merupakan proses yang telah berjalan selama lebih dari dua abad. Tidak hanya berdampak pada perubahan sistem produksi masyarakat, proses yang diawali oleh revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad XVIII tersebut juga berdampak pada keseluruhan kehidupan sosial masyarakat. Meskipun pada awalnya revolusi industri hanya berdampak pada proses produksi seperti dimana suatu barang diproduksi atau bagaimana suatu barang diproduksi, efisiensi proses produksi melalui pemusatan kegiatan produksi dan bisnis ke daerah-daerah tertentu mendorong orang-orang untuk berpindah dari daerah rural ke daerah urban untuk bekerja. Dan pada gilirannya, proses urbanisasi tersebut kemudian mendorong orang untuk mengembangkan cara-cara baru untuk berbisnis. Perkembangan bisnis tersebut-lah yang kemudian memicu berbagai macam proses lainnya seperti industrialisasi, kapitalisasi dan profesionalisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya ritus waktu luang.

Situasi waktu luang yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia kini telah menjelma menjadi industri yang secara ekonomis menjanjikan. Tidak lagi menjadi hal yang eksklusif dimiliki dan dinikmati oleh kelompok sosial tertentu, ritus-ritus waktu luang kini telah menjadi bagian dari budaya massa yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun industrialisasi juga memiliki dampak buruk.Nilai-nilai ideal yang dikandung oleh ritus-ritus waktu luang menjadi luntur dan digantikan oleh nilai-nilai yang lebih bersifat pragmatis.Ritus waktu luang hanya menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomis.Tereduksinya nilai-nilai ideal ritus waktu luang dapat dilihat pada ritus olahraga.Di banyak kebudayaan olahraga merupakan ritus sosio-kultural suatu masyarakat.Sebagaimana terlihat pada masyarakat Yunani Kuno.Melalui olahraga, masyarakat Yunani Kuno menunjukkan penghormatannya kepada Dewa Zeus.Namun kini industrialisasi olahraga telah menjadikan olahraga sebagai “lapangan kerja”.Orang tidak lagi menggunakan olahraga sebagai ritus yang memiliki nilai dan tujuan yang bersifat spiritual atau transenden melainkan sebagai sebuah kegiatan untuk memperoleh penghasilan.

Nilai-nilai seperti sportifitas dan prestasi yang ada di dalam olah raga kini digantikan oleh nilai-nilai kapitalistik.Sehingga kompetisi dan kemenangan tidak lagi hanya diartikan sebagai prestasi dan kebanggaan.Dalam logika kapitalistik, kompetisi dan kemenangan berarti pekerjaan dan pendapatan.Olahraga tidak lagi sekedar menjadi ritus waktu luang, melainkan menjadi aktivitas komersial. Pergeseran orientasi terhadap jenis dan nilai olah raga terjadi akibat perubahan dalam gaya hidup. Pertama, gaya hidup yang berorientasi mengejar kesenangan dan kenyamanan fisik berpengaruh nyata terhadap perubahan kultur gerak. Banyak karyawan atau pekerja kantoran menghindari naik turun tangga.Mereka lebih suka menggunakan lift. Pada masa usia dini, "kenyamanan" pun secara tidak sadar ditanamkan. Alih-alih harus berjalan kaki, anak-anak berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan antar jemput. Kedua, pergeseran gaya hidup pun memengaruhi masyarakat dalam memandang olah raga. Berolah raga kini tidak selalu dikaitkan dengan kompetisi dan prestasi, tetapi juga karena tujuan lain, terutama sebagai gaya hidup. Itulah sebabnya, klub-klub senam kebugaran, pengobatan, dan kemolekan tubuh marak di mana-mana dan lebih populer dibandingkan senam ritmik dan cabang prestatif lainnya.Ketiga, pilihan jenis dan tujuan olah raga pun bergeser.

Orientasi olah raga yang langsung atau tidak langsung bersifat ekonomi tumbuh semakin tajam.Orientasi ekonomi langsung, terlihat pada "perkawinan" antara olah raga dengan ekonomi.Olah raga pun kini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.Bahkan dalam dua dekade terakhir, ekonomi olah raga tumbuh dengan eskalasi makin besar.Kontribusi olah raga bagi pertumbuhan ekonomi tampak dalam pengembangan industri olah raga.Di negara maju olah raga sudah terindustrialisasi secara masif.Perubahan struktur ini juga diikuti dengan penanaman nilai-nilai profesionalisme secara ketat. Semakin besar nilai, kontrak, misalnya, semakin berat beban profesionalisme sang atlet. Ternyata, industrialisasi olah raga pun mengalami globalisasi. Seperti juga di bidang lain di luar olah raga, globalisasi industri olah raga pun membuat bangsa kita tergagap. Kita tidak siap bersaing dan hanya menerima luberan pengaruh kultur olah raga pada skala global. Nilai profesionalisme pun mulai ditanamkan di kalangan atlet nasional, meski tidak utuh seperti yang berlaku pada masyarakat yang industri olah raganya sudah maju. Namun gejala umum berlaku dalam dunia olah raga kita adalah bahwa ternyata perubahan stuktur (seperti aturan transfer) tidak selalu diikuti kultur profesional. Itulah sebabnya, tawuran kerap terjadi pada ajang yang mengusung bendera profesionalisme.Pengaruh olah raga terhadap ekonomi juga bisa bersifat tidak langsung.Olah raga telah mengurangi beban pengeluaran masyarakat dalam aspek kesehatan.

Derajat kebugaran jasmani dan kesehatan yang baik akan menurunkan biaya perawatan kesehatan, dan malah meningkatkan produktivitas kerja. Pencapaian visi dan misi pemerintah daerah membutuhkan dukungan semua pihak. Pada sisi ini, derajat kesehatan aparatur dan masyarakat yang baik secara tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan kinerja dan kualitas penyelesaian tugas. Bagaimanapun peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Nasional, pengembangan struktur perekonomian regional yang tangguh, dan pemantapan kinerja pemerintah daerah membutuhkan dukungan aparatur yang sehat.Demikian pula dengan peningkatan implementasi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas kehidupan sosial yang berlandaskan agama dan budaya daerah membutuhkan dukungan masyarakat yang sehat secara fisik dan mental.


C. Pemberdayaan Masyarakat

Olahraga telah lama menjadi instrumen pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.Peran ini bukan hanya diperlihatkan dalam ajang Pekan Olah Raga Nasional (PON) I yang terkesan heroik, tetapi juga diperlihatkan dalam berbagai even olah raga yang digelar sebelumnya.Kini, lingkungan strategis olah raga telah berubah.Tantangan yang dihadapi bangsa-bangsa bukan melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, tetapi memacu persaingan dan mengejar kesetaraan dalam hubungan antarbangsa. Dalam lingkup global, terjadi peningkatan kesadaran akan saling ketergantungan antarbangsa melalui difusi kultur olah raga. Dalam konteks ini, permasalahan sistem keolahragaan nasional tidak terlepas dari tekanan politik, ekonomi, dan budaya global.

Sementara dalam skala nasional, perubahan paradigma pembangunan nasional ke arah desentralisasi diikuti pula perubahan dalam kebijakan pembinaan olah raga yang searah dengan demokratisasi dalam segala bidang. Pembinaan olah raga akan lebih banyak melibatkan partisipasi dan prakarsa masyarakat. Perubahan ini semestinya diikuti oleh pemberdayaan masyarakat di bidang olah raga. Selaras dengan semangat zaman, derajat partisipasi masyarakat dalam pembangunan olah raga akan menentukan postur dan kemajuan pembangunan olah raga suatu daerah. Masyarakat bukan hanya perlu didorong dalam menjadikan olah raga sebagai kebutuhan, tetapi juga mengambil peran dalam memajukan olah raga daerah.Pembangunan olah raga yang bertumpu pada peran serta masyarakat dulu telah dicoba dalam kemasan gerakan memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat.Gerakan ini memerlukan revitalisasi sehingga menjadi focal concern baru.Hal ini bukan tidak mungkin, karena tekanan hidup menuntut masyarakat mengubah pola hidup.Pilihan pola hidup sehat dapat menjadi solusi di saat krisis.Tentu saja kebijakan ini memerlukan instrumen pendukungnya.Pembangunan sarana prasarana olah raga selain harus memperhatikan sebaran demografis juga tidak melupakan kebutuhan penyediaan pelayanan olah raga bagi anggota masyarakat yang memiliki keterbatasan khusus.
 Pengembangan pelayanan olah raga untuk untuk kelompok khusus, terutama untuk orang cacat masih membutuhkan peningkatan dalam berbagai aspek.Untuk pembinaan kelompok khusus ini, kita masih kekurangan tenaga pembina yang kompeten maupun sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pembinaan.Sedangkan dalam hal pembinaan olah raga prestasi perlu didukung peningkatan sarana prasaran olah raga dan sumberdaya manusia yang kompeten.Pembinaan olah raga prestasi diletakkan di atas landasan pendidikan jasmani dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan.Pembinaan dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan berikut.Pertama, introduksi dan penerapan teknologi olah raga untuk mendorong efisiensi pembinaan olah raga prestasi.Sayangnya industri olah raga dalam negeri baru sebatas memperoleh hak paten untuk memproduksi peralatan olah raga.Hal ini menunjukkan betapa tertinggalnya riset dan pengembangan dalam bidang keolah ragaan, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga riset swasta dan milik pemerintah.Prioritas riset dan pengembangan bisa diletakkan dalam upaya reservasi jenis olah raga tradisional yang menjadi bagian dari pranata sosial budaya masyarakat namun mulai ditinggalkan pendukungnya.Selain itu, riset dan pengembangan pun perlu diarahkan pada penyediaan peralatan dan perlengakapan olaharaga sehingga tidak sepenuhnya bergantung kepada produk luar negeri yang mahal.

 Pemajuan aspek-aspek di atas membutuhkan keterlibatan semua pihak. Tidak hanya keterlibatan jajaran pemerintahan daerah, tetapi juga keterlibatan dan prakarsa para pengusaha, tokoh masyarakat, dan elemen lain. Sudah saatnya prestasi olah raga Nasional beranjak pada level yang lebih bergengsi. Hal ini bukan perkara yang absurd, mengingat potensi yang dimiliki masyarakat Nasional lebih dari memadai.Bukan hanya potensi atlet, tetapi juga potensi dalam pembinaan. Karena itu, kata kunci pemajuan olah raga di Nasional adalah membangun sinergi, dalam menjadikan olah raga sebagai budaya masyarakat dan pembinaan olah raga prestasi secara Nasional

D. Profesionalisme Setengah Hati
 
Hampir seluruh klub-klub Liga Indonesia saat ini menyandarkan hidupnya pada dana APBD. Bisa jadi, karena mereka klub milik masyarakat kota/kabupaten.Tiap musim kompetisi, tak kurang dari Rp 10 miliar APBD diambil untuk keperluan klub.Banyak masalah yang timbul dari kebijakan yang tak bijak itu. Satu hal adalah Peraturan Mendagri 59/2007 yang menentukan bahwa dana APBD untuk keperluan seperti itu tak bisa dilakukan terus-menerus. Kedua, dana untuk klub-klub menyedot 90-95 persen total anggaran untuk sektor olahraga. Tentu, ini memunculkan rasa iri pada cabang olahraga lainnya.Tetapi, persoalan mendasar adalah bagaimana kita setengah hati menjalankan prinsip-prinsip profesionalisme dalam pengelolaan sebuah klub. Ketika profesionalisme menyentuh soal uang, kita menyikapinya dengan cara pandang yang berbeda. Kita memandang hukum profesionalisme membolehkan seseorang (atau klub) membayar seorang pelakunya dengan harga tinggi.Harga tersebut dianggap sebagai perlambang profesionalitas.Makin hebat kemampuan seorang pelaku, makin tinggi nilai apresiasi yang wajib diterimanya. Tak ada yang salah dengan cara pandang seperti itu. Di Italia, Inggris, Spanyol, atau negara-negara lain yang tingkat profesionalismenya sudah teruji, kontrak pemain untuk satu musim kompetisi mencapai jutaan euro.

Di Indonesia, ada pemain yang bergaji puluhan bahkan sampai ratusan juta sebulan. Angka tersebut mungkin setara dengan gaji eksekutif papan atas negeri ini.Pemain tentu senang dengan penghasilan seperti itu.Sialnya, mereka tak mengimbangi dengan sikap profesionalisme yang layak tiru.Ada yang berkelahi di lapangan.Ada yang memprotes keputusan wasit dengan cara-cara kasar (bahkan memukul).Ada pula yang masih mencari tambahan penghasilan secara ilegal, main tarkam misalnya.Jika pemain tidak (pernah mau) profesional, hal senada juga terjadi pada pengelola klub.Bagaimana mereka terbuai menggunakan APBD untuk pengelolaan klub adalah salah satu contohnya. Sedikitpun tak tergambar bagaimana kreativitas mereka menggalang dana klub di luar APBD. Yang terlihat adalah mereka seperti anak sapi pemalas, yang selalu menyapih susu induknya. Mestinya, banyak hal yang bisa mereka lakukan.Mereka bisa mencari sponsor. Mereka bisa mendapat dana dari tiket terusan. Mereka bisa menjual merchandise klub.Bisa menjual pengelolaan klub kepada investor yang gila bola. Atau, dalam keadaan terpaksa, bisa pula menjual saham kepemilikan klub kepada masyarakat kota, seperti yang dicontohkan sebuah klub divisi bawah Inggris belum lama ini. Ironisnya, penggunaan dana APBD yang telah meninabobokkan klub selama ini, juga tidak dibarengi dengan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal, karena menggunakan dana publik, faktor keterbukaan dan akuntabilitas menjadi hal penting. Tak adanya pertanggungjawaban yang akuntabel, memunculkan tanda-tanda bahwa pengelolaan klub sarat dengan korupsi dan kolusi.Tidak aneh lagi bahwa klub-klub masih melakukan praktik kolusi dengan wasit.Masih banyak klub yang memberikan servis kepada wasit pemimpin pertandingan sementara pengadil itu sudah mendapatkan bayaran yang lebih dari cukup dan legal.Masih banyak klub yang berani membayar oknum-oknum PSSI yang korup, misalnya hanya untuk mendapatkan jadwal pertandingan yang meringankan mereka.

Pada akhirnya, kita berpendapat bahwa apa pun risikonya, Sebuah kebijakan harus jalan, tegak dan lurus. Penggunaan dana APBD untuk klub yang sudah berlangsung bertahun-tahun, faktanya tak memberi pembelajaran profesionalisme dan bukan pula hanya sekadar modal awal bagi klub. Kalau kemudian karena penegakan aturan itu banyak klub berguguran, maka itu adalah risiko kegagalan kita memaknai profesionalisme secara utuh.Artinya, kita memang belum siap menggelar sebuah kompetisi profesionalisme yang dapat dikomersiilkan. Dan, tak akan pernah siap jika cara dan sikap pandang kita tak ikut berubah. E. Guru Pendidikan Jasmani dan Tantangan Profesionalisme Guru dalam proses pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator dalam penyampaian materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh peserta didik dalam kehidupan nyata, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.

Dalam proses pembelajaran ini, untuk menjadi guru yang profesional, hendaknya guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah kelas. Pekerjaan guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus.

Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Menurut Usman, tugas profesi guru meliputi: mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada anak didik. Sementara tugas sosial guru tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi lebih jauh guru adalah orang yang diharapkan mampu mencerdaskan bangsa dan memper- siapkan manusia-manusia yang cerdas, terampil dan beradab yang akan membangun masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang andal dalam melakukan pembangunan bangsa.

Secara sederhana tanggung jawab guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya.Dalam hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya.Melalui kegiatan mengajar yang dilakukannya seorang guru mampu mendorong para siswa agar mampu mengemukakan gagasan-gagasan besar dari murid-muridnya.

Persoalan guru dalam dunia pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun masyarakat.Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat penting, artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa.Mereka adalah pengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda sesuai dengan cita-cita bangsa. Sementara masyarakat memandang pekerjaan guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru bukan semata-mata sebagai mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau pedagang atau yang lain. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa. Masyarakat menaruh harapan besar pada guru guna melahirkan generasi masa depan yang lebih baik. Mereka diharapkan menjadi teladan bagi anak didiknya dan mampu membimbing mereka menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan etika. Guru telah diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar mengajar.

Kualitas dan kompetensi guru dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila guru dituntut bertindak profesional dalam melaksanakan proses belajar mengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka lakukan. Tuntutan seperti ini sejalan dengan perkembangan masyarakat modern yang menghendaki bermacam-macam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang semakin lama semakin kompleks.Tuntutan kerja secara profesional juga dimaksudkan agar guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang disandangnya.Berbicara tentang kerja profesional mengharuskan kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian profesi sebagai bentuk dasar kata profesional tersebut.Menurut Volmer dan Mills, pada dasarnya profesi adalah sebagai suatu spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan men-suplay keteram- pilan melalui pelayanan dan bimbingan pada orang lain untuk men- dapatkan bayaran (fee) atau (salary) gaji. Dalam perspektif sosiologi, profesi itu sesungguhnya suatu jenis model atau tipe pekerjaan ideal, karena dalam realitasnya bukanlah hal yang mudah untuk mewujud- kannya. Sedangkan profesionalisme adalah proses usaha menuju kearah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal berkemampuan, mendapat perlindungan, memiliki kode etik profesionalisasi, serta upaya perubahan struktur jabatan sehingga dapat direfleksikan model profesional sebagai jabatan elit. Sedangkan profesi itu sendiri pada hakikatnya adalah sikap bijaksana (informend responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang dilandasi oleh keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur yang mantap diiringi sikap kepribadian tertentu.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa sebuah profesi mengandung sejumlah makna yang dapat disimpulkan sebagai berikut; profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan, profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang dalam, dalam profesi terkandung unsur pengabdian.Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna membina anak didiknya menjadi tenaga- tenaga terdidik yang ahli dalam bidang yang menjadi spesialisnya. Hal ini dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan atau keterampilan kerja tertentu.Dari sisi ini, maka keterampilan kerja merupakan salah satu syarat dari suatu profesi.

Namun tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai profesional.Keterampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Dengan dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai bidang itu, akan tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka pekerjaan profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Dengan berbekal profesionalisme yang tinggi, maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi terangkat. Namun dewasa ini, dunia pendidikan kita sedang dilanda krisis “profesionalisme guru”, khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam, karena disebabkan oleh berbagai hal.

Hal tersebut menjadi belenggu bagi terciptanya suatu tatanan pendidikan yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel di bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaknya. Krisis profesionalisme guru dalam dunia lembaga pendidikan disebabkan karena kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya. Guru hanya menganggap “mengajar” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas atau pekerjaannya sebagai calling profesional dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Di samping itu munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang guru memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan akan makna dan tujuan hidupnya.

 Ada dua faktor penting yang mempengaruhi lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru: (1) Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi dan menjalin komunikasi, dan (2) Faktor pertimbangan eksternal, yang menyangkut pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau sistem sosial dimana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya, seperti lingkungan kerja lainnya. Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut lingkungan kerja, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi semangat kinerja guru, yaitu (a) volume upah yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang, (b) suasana kerja yang menggairahan atau iklim yang ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang serasi dan manusiawi antara pimpinan dan bawahan, (c) penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja, (d) sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan pimpinan terwujud dalam kenyataan, (e) penghargaan terhadap need for achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan terhadap yang berperstasi (reward and punishment), dan (f) sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik. F. Profesionalisasi Guru Pendidikan Jasmani Pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pengembang sumber daya manusia (SDM), maka tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugas mengembangkan SDM.Oleh karena itu siapa saja yang mengemban tugas profesi tenaga kependidikan harus secara kontinyu menjalani profesionalisasi, baik secara formal maupun informal.

Di Indonesia saat sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di setiap propinsi, yang bertugas secara umum bagaimana meningkatkan tenaga kependidikan menjadi bermutu dan profesional.Menurut R.D. Lansbury dalam Profesionals and Management (1978) (Sudarman Danim, 2002), dalam konteks profesionalisasi, istilah profesionalisasi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik.

1. Pendekatan Karakteristik

Pendekatan ini memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Seorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti menjadi bagian integral dalam kehidupannya. Kesimpulan dari para ahli mengenai sifat atau karakteristik profesi sebagai berikut: Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, termasuk di sini pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki seorang penyandang profesi. Memiliki pengetahuan spesialisasi, yaitu sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu.
Contoh: siapa saja bisa menjadi guru, tetapi guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperoleh dalam pendidikan tinggi, yaitu guru pendidikan jasmani lulusan dari program studi pendidikan jasmani. Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Jika guru maka kliennya adalah siswa.Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus memilik teknik berkomunikasi agar mudah dipahami oleh peserta didik, sehingga apa yang disampaikan dapt diserap dengan mudah.

 Memiliki kapasitas mengorganisaskan kerja secara mandiri atau self-organization. Istilah mandiri berarti kewenangan akademik melekat pada dirinya, maksudnya bahwa pekerjaannya dapat dilakukan sendiri dengan tanpa harus minta bantuan kepada orang lain. Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap selalu memberikan layanan yang terbaik kepada para peserta didiknya pada saat diperlukan kapan saja dan di mana saja.Memiliki kode etik. Guru Indonesia sudah memiliki kode etik guru yaitu: ”Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara, serta kemanusiaan pada umumnya.

Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut: a) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. b) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional. c) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. d) Guru menciptakan suasana sekola sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. e) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. f) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesionalnya. g) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. h) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. i) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.” Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas.

Manakala terjadi “malpraktik”, seorang guru penjas harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat, atau sanksi dari atasannya.Misalnya mengajar renang karena guru teledor, sehingga terjadi kecelakaan ada siswa yang tenggelam dan meninggal dunia, maka guru tersebut harus bertanggung jawab dan menerima sanksi.Mempunyai sstem upah atau standar gaji. Guru penjas yang profesional supaya mempunyai sistem upah yang jelas. Budaya profesional. Budaya profesi dapat berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.

2. Pendekatan Institusional

 Pendekatan institusional memandang bahwa profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya adalah kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. H.L. Wilensky (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan yaitu: Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full-time, bukan pekerjaan sambilan. Sebutan full-time mengandung arti bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu tertentu sebagai pekerjaan utamanya. Menetapkan sekolah sebagai tempat untuk menjalani proses pendidikan atau pelatihan.

Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga tertentu pula, misalnya guru penjas hanya dihasilkan oleh program studi penjas di FIK atau FPOK atau JPOK.Mendirikan asosiasi profesi.Untuk profesi guru penjas adalah PGRI dan ISORI.Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut.PGRI, misalnya mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pendiriannya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap guru.Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan.

Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja. Sedangkan Wilensky T. Caplow (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima tahap memprofesionalkan suatu pekerjaan sebagai berikut: Menetapkan perkumpulan profesi. Perkumpulan profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannya terdiri atas orang-orang yang seprofesi atau seminat.Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan.Kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.Menetapkan dan mengembangkan kode etik.Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan perilaku.Kode etik bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam makna bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat.Dukungan di sini bermakna pengakuan.Tidak jarang pula suatu atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan masyarakat, penguasa, dunia kerja, dll.Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan.Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan di atas tidak mutlak dilakukan secara rijid, artinya tidak mutlak harus menetapkan pekerjaan terlebih dahulu, melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah sebagai wahana pendidikan lebih dahulu.

 3. Pendekatan Legalistik

Pendekatan legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau pemerintah.Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi undang-undang atau produk hokum yang ditetapkan pemerintah suatu Negara. Menurut M. Friedman (Sudarman Danim, 2002), pengakuan suatu pekerjaan agar menjadi suatu profesi sungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: Registrasi yaitu suatu aktivitas yang jika sesorang ingin melakuakn pekerjaan profesional, terlebh dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi milik Negara, dengan persyaratan tertentu yang dibutuhkan oleh profesi tersebut. Sertifikasi mengandung makna jika hasil penelitian atau persyaratan pendaftaran yang diajukan calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Misalnya calon guru penjas sebelummenjadi guru diadakan tes kompetensi guru penjas, dan setelah lulus mendapatkan sertifikasi. Lisensi mengandung makna bahwa atas dasar sertifkat yang dimiliki oleh seseorang, barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. 






ISI
(  PEMBAHASAN )

PENGERTIAN PROFESI DAN PROFESIONALISME


A.      Pengertian Profesi 
     Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya.PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. 

 B.       Pengertian Profesional 
       Profesional adalah orang yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi.Hal ini juga pengaruh terhadap penampilan atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan di profesinya.“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya.Penyandangan dan penampilan “professional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. 
Kata profesional berasal dari profesi yang artinya menurut Syafruddin Nurdin, diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai prangkat dasar untuk di implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Definisi Profesional. Istilah " Profesional " diadaptasikan dari istilah bahasa Inggris yaitu Profession yang berarti pekerjaan atau karir . Menurut Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka ( Edisi Empat ) menafsirkan profesional sebagai : 
1.      Yang terkait dengan ( bergiat dalam ) bidang profesi ( seperti hukum , medis , dan lain sebagainya ) Contoh : profesional ; ahli professional. 
2.      Berbasis ( membutuhkan dll ) kemampuan atau keterampilan yang khusus untuk melaksanakannya , efisien ( teratur ) dan memperlihatkan keterampilan tertentu . Contoh : setiap manajer atau eksekutif dalamsatu - satu perusahaan harus tahu mengurus secara profesional . 
3.      Melibatkan pembayaran dilakukan sebagai mata pencarian , mendapatkan pembayaran . Contoh : merekaharus mendapatkan bimbingan seorang pelatih teknis yang profesional di bidangnya . 
4.      Orang yg mengamalkan ( karena pengetahuan , keahlian , dan keterampilan ) sesuatu bidang profesi ; memprofesionalkan menjadikan bersifat atau kelas profesional . 
 C.    Pengertian profesionalisme 
            Profesionalisme adalah komitmen para profesional terhadap profesinya. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan kebanggaan dirinya sebagai tenaga profesional, usaha terus-menerus untuk mengembangkan kemampuan profesional, dst. Profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus menerus. 
Profesionalisme berasal dan kata profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994).Sedangkan profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang professional (Longman, 1987).
“Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan –serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).



D.    Kriteria Pekerjaan Menjadi Sebuah Profesi
 Dalam rangka memahami lebih lanjut tentang profesi perlu diketahui adanya sepuluh macam kriteria yang diungkapkan oleh Horton Bakkington dan Robers Patterson dalam studi tentang jabatan profesi mengungkap sepuluh kriteria:
1.      Profesi harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan menggunakan prinsip keilmuan yang dapat diterima masyarakat.
2.      Profesi harus menuntut suatu latihan profesional yang memadai dan membudaya.
3.      Profesi menuntut suatu lembaga yang sistematis dan terspesialisasi.
4.      Profesi harus memberikan keterangan tentang ketrampilan yang dibutuhkan di mana masyarakat umum tidak memilikinya.
5.      Profesi harus sudah mengembangkan hasil dari pengalaman yang sudah teruji.
6.      Profesi harus merupakan tipe pekerjaan yang bermanfaat.
7.      Profesi harus sudah memerlukan pelatihan kebijaksanaan dan penampilan tugas.
8.      Profesi harus mempunyai kesadaran ikatan kelompok sebagai kekuatan yang mampu mendorong danmembina anggotanya.
9.      Profesi harus dijadikan batu loncatan mencari pekerjaan lain.
10.  Profesi harus mengakui kewajibannya dalam masyarakat dengan meminta anggotanya memenuhi kode etik yang diterima dan dibangunnya. 

E.  Dari kriteria-kriteria yang ditetapkan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjan dapat dikatakan pekerjaan profesi apabila memenuhi ciri-ciri:
a.       Memenuhi spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas (pengetahuan dan keahlian).
b.      Merupakan karir yang dibina secara organisatoris (keterkaitan dalam organisasi profesi, memiliki kode etik dan pengabdian masyrakat).
c.       Diakui masyarakat sebagai suatu pekerjaan yang mempunyai status profesional (memperoleh dukungan masyarakat, perlindungan hukum dan mempunyai persyaratan kerja dan jaminan hidup yang layak). 

F.  Sesuai dengan pengertian profesi dan ciri-ciri yang diungkapkan di atas, maka pekerjaan guru adalah tugas keprofesian, mengingat hal-hal sebagai berikut:
1.      Diperlukan persyaratan akademis dan adanya kode etik.
2.      Semakin dituntut adanya kualifikasi agar tahu tentang permasalahan perkembangan anak (Shaleh, 2005:278-280).Abudin Nata menambahkan tiga kriteria suatu pekerjaan profesional:
a.   Mengandung unsur pengabdian
              Setiap profesi dikembangkan untuk memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat.Setiap orang yang mengaku menjadi pengembang dari suatu profesi tertentu harus benar-benar yakin bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tersebut.
b.   Mengandung unsur idealisme
            Setiap profesi bukanlah sekedar mata pencari atau bidang pekerjaan yang mendatangkan materi saja melainkan dalam profesi itu tercakup pengertian pengabdian pada sesuatu yang luhur dan idealis, seperti mengabdi untuk tegaknya keadilan, kebenaran meringankan beban penderitaan sesama manusia.
c.    Mengandung unsur pengembangan
            Setiap bidang profesi mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus-menerus.Secara teknis profesi tidak boleh berhenti atau mandek. Kalau kemandekan teknik ini terjadi profesi itu dianggap sedang mengalami proses kelayuan atau sudah mati. Dengan demikian, profesipun manjadi punah dari kehidupan masyarakat (Nata, 2001:139). 
Menurut Mukhtar Lutfi ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi yaitu:
1.      Panggilan hidup yang sepenuh waktu.
2.      Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian .
3.      Kebakuan yang universal.
4.      Pengabdian
5.      Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
6.      Otonomi
7.      Kode etik
8.      Klien.
Wolmer dan Mills dalam Sardiman mengatakan pekerjaan itu dikatakan sebagai profesi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas.
2.      Merupakan karir yang dibina secara organisatoris.
3.      Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional. ( Sardiman, 2007:164). 
Rahman Nata wijaya mengemukakan beberapa kriteria sebagai ciri suatu profesi:
1.      Ada standar kerja yang baku dan jelas.
2.      Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program pendidikan yang baik.
3.      Ada organisasi yang memadai pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan  kesejahteraannya.
4.      Ada etika dan kode etik yang mengatur prilaku para pelakunya dalam memperlakukan kliennya.
5.      Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku .
Ø  Upaya-upaya Guru Meningkatkan Profesionalisme
Peningkatan profesionalisme guru sebenarnya ditentukan oleh seorang guru itu sendiri. Apakah seorang guru tesebut ingin menjadi seorang guru yang profesional atau tidak Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang guru jika ingin meningkatkan keprofesionalisme, yaitu :
1. Memahami standart tuntutan profesi yang ada.  
Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada (di Indonesia dan yang berlaku di dunia) harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru kita ingin meningkatkan Profesionalismenya.Sebab, persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara, sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belajar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya.
2. Mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.
Upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang di persyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru.Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melului training, seminar, dan berbagai upaya lain untuk memperoleh sertifikasi.
3. Membangun kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi.
Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilkukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui jaringan kerja inilah guru dapat memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya.Dalam hal ini juga dapat di bina melalui jaringan kerja yang luas dengan menggunakan tekhnologi komunikasi dan informasi, misal melalui korespondensi dan mungkin melalui internet. Apabila hal ini dilakukan secara intensif akan dapat diperoleh kiat-kiat menjalankan profesi dari sejawat guru di Indonesia bahkan dunia.
4. Mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen.
Upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang.Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituenya yaitu siswa , Orang tua dan sekolah . Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang di danai, di adakan dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik.Oleh karena itu guru harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.
5. Mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan inmormasi mutkhir agar senantiasa tidak keinggalan dalam kemampuannya menggelola pembelajaran.
Satu hal lagi yang dapat diupayakan ntuk peningkatan profesionalisme guru adalah melalui adopsi inovasi atau pengembangan kreatifitas dalam pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan informasi mutakhir. Guru dapat memanfaatkan media presentasi komputer dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang tekhnologi pendidikan. Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya tersebut pada akhirnya memerlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud.Pihak-pihak yang harus memberikan dukunganya tersebut adalah organisasi profesi seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat.

Ø  Pelatih
Pelatih ialah seseorang yang bertugas untuk mempersiapkan fisik dan mental olahragawan maupun kelompok olahragawan.Sebagian besar pelatih merupakan bekas atlet.Pelatih mengatur taktik, strategi, pelatihan fisik dan menyediakan dukungan moral kepada atlet.

Pelatih adalah seorang yang profesional yang tugasnya membantu olahragawan dan tim dalam memperbaiki penampilan olahraga. Karena pelatih adalah suatu profesi, maka sebaiknya pelatih harus dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar/ukuran professional yang ada. Sedangkan yang sesuai dengan standar profesi adalah pelatih harus dapat memberikan pelayanan pelatihan sesuai dengan perkembangan mutakhir pengetahuan ilmiah di bidang yang ditekuni ( Pate Rotella, 1993:5).
Pelatih yang baik harus mempunyai kemampuan sebagai berikut :
1)      mempunyai kemampuan untuk membantu atlet dalam mengaktualisasikan potensinya;
2)      bila membentuk tim akan didasarkan pada ketrampilan individu yang telah diajarkan;
3)      mempunyai pengetahuan dan keterampilan teknis yang seimbang;
4)      mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkat intelektual dengan keterampilan neuromuskuler atletnya;
5)      mampu menerapkan prinsip-prinsip ilmiah dalam membentuk kondisi atlet;
6)      lebih meningkatkan pada unsur pendidikan secara utuh, baru kemudian pada unsur pelatihan;
7)      membenci kekalahan, akan tetapi tidak mencari kemenangan dengan berbagai cara yang tidak etis;
8)      mempunyai kemampuan untuk mengendalikan dirinya;
9)      mempunyai kemampuan untuk mengevaluasi peningkatan terhadap partisipasi atletnya;
10)  mempunyai kemampuan untuk selalu dihormati oleh atletnya maupun teman-temannya; dan
11)  mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap profesinya ( Mc Kinney, 1975 ).

        Robert W. Richey (Arikunto, 1990 : 235) Mengmukakan cirri cirri dan syarat syarat profesi sebagai berikut .

                                                              i.      Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
                                                            ii.      Seorang pekerja professional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
                                                          iii.      Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuku profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
                                                          iv.      Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
                                                            v.      Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
                                                          vi.      Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
                                                        vii.      Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spelsialisasi dan kemandirian
                                                      viii.      Memandang profesi suatu karier hidup dan menjadi seorang anggota yang permanen.







PENUTUP
SARAN
Pendidikan merupakan kunci untuk semua kemajuan dan perkembangan yang berkualitas khususnya dalam pendidikan jasmani dan olahraga, sebab dengan pendidikan manusia dapat mewujudkan semua potensi dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Dalam rangka mewujudkan potensi diri menjadi multiple kompetensi harus melewati proses pendidikan jasmani dan yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Berlangsungnya proses pembelajaran tidak terlepas dengan lingkungan sekitar.
KESIMPULAN
Guru dan pelatih  adalah merupakan profesi , dan guru profesioanal yaitu: pengajar yang mempunyai kemampuan dan keahlian yang khusus dalam bidangnya sebagai pengajar (mengajar, mendidik, membimbing dan melatih) serta mampu melakukan dan melaksanakan tugasnya, fungsinya dan tanggungjawabnya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal dan senantiasa berusaha untuk meningkatkan keahliannya melalui pembelajaran baik dengan pelatihan maupun pendidikan. Guru penjas profesional yaitu orang yang mampu dan ahli sebagai sebagai pengajar (mengajar, mendidik, membimbing dan melatih)  dibidang penjas serta mampu melakukan dan melaksanakan tugasnya, fungsinya dan tanggung jawabnya sebagai guru penjas dengan kemampuan yang maksimal dan senantiasa berusaha untuk meningkatkan keahliannya melalui pembelajaran baik dengan pelatihan maupun pendidikan. Untuk mengetahui seseorang guru penjas itu profesional atau tidak, dapat diketahui dari dua perspektif.Pertama, dilihat dari latar belakang pendidikannya, Kedua, penguasan guru terhadap materi ajar, merencanakan pembelajaran, mengelola proses, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan menilai.





DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
http://www.tugasku4u.com/2013/05/makalah-konsep-dasar-profesionalisme.html
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III, hal. 897.

Sjafri Sairin, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003), hal 37.

Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.
Depdiknas, 2003, Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Tim. Pendidikan Jasmani SMP/MTs, Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas, 2003, Undang-Undang R.I Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas

Dikti Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Prgram Studi Pendidikan Jasmani Jenjang Strata 1. Jakarta: Dikti Depdiknas. 

Hadi Setia Tunggal. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Harvarindo. 

Sudarwan Danim. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. 

Mendikbud dan Menpan.(1993). Keputusan Menpan Nomor 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Depdikbud.